Semakin hari, politik buat manusia Indonesia bertindak aneh. Di Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, dua kuburan kudu dipindahkan gara-gara keluarga jenazah tidak serupa pilihan caleg dengan pemilik tanah yang masih memiliki interaksi keluarga. Kasus ini mengetahui mengoyak rasa kemanusiaan dan menepikan arti penting kuburan didalam jagad kebudayaan Indonesia.
Leluhur kita menyaksikan kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan daerah menimbun orang mati. Bila kuburan diakui sepele, tidak kemungkinan para cendekiawan Jawa jaman lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan.
Sederet sinonim ini tertuang terhadap koran Darmo Kondo yang terbit di permulaan abad ke-20, yang aku telusuri di Perpustakaan Nasional lama lantai 8.
Catatan yang lebih lawas, Babad Tanah Jawa, termasuk menggambarkan kesakralan makam sebagai pusaka keraton: “Betapa sedihnya hati aku bahwa seluruh pusaka sudah diambil oleh putera aku raja (Amangkurat Mas). Tetapi, aku mengetahui bahwa sekalipun seluruh barang pusaka yang lain pun diambil, tapi kecuali saja Masjid Demak dan Makam Adilangu senantiasa ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati Tanah Jawa.”
Agama dan Makam Saking lekatnya relasi antara agama dengan makam, kakek moyang kita tak segan pula menyimpan makam berdekatan dengan ruang sembahyang. Lihat saja di kurang lebih masjid Kota Gedhe, disemayamkan jasad para peletak basic kerajaan Mataram Islam, yakni Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sunan Seda ing Krapyak.
Selain itu, dijumpai pula makam Sultan Hamengku Buwana II, Pangeran Adipati Pakualam I, dan juga sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya. Dalam struktur ruang Keraton Plered (1625-1677) yang didirikan Sultan Agung, Inajati Andrisijanti didalam Arkeologi Perkotaan Mataram Islam (2001) termasuk mendapatkan makam kuno di sebelah barat reruntuhan masjid.
Kenyataan ini perlihatkan bahwa kombinasi masjid dengan makam tandanya orang Jawa begitu menghormati jasad manusia. Sekalipun raganya sudah berkalang tanah, tapi ruhnya dipercayai masih hidup dan membersamai (ngemong) anak-cucunya didalam memilih garis nasib di alam nyata. Makam bayi (trek-trekan) yang bercokol di bekas masjid termasuk dirawat dengan baik.
Realitas ini mampu ditemukan di Kauman, Mangkunegaran Surakarta. Kala tertentu, beberapa orang masih menziarahi makam yang berada di didalam bengkel itu. Penduduk setempat tak berani mengutak-atik, terlebih meratakannya dengan tanah.
Diyakini, yang dikubur di sini ialah buah hati Gusti Mangkunegara IV. Keterangan lisan ini ternyata sesuai dengan fakta yang tersurat didalam Babad Lêlampahanipun Radèn Mas Arya Gôndakusuma (MN IV 1853-1881): “Kala kagungan putra kaping 14 miyos putri, seda sareng kalihan ibu, ing malem Jumuwah Kaliwon, wanci jam 3 tanggal kaping 27 wulan Sapar, ing th. Jimakir, ongka 1778. Layonipun raden ayu wau kasareaken ing ardi Mangadeg, putrinipun wonten ing Masjid Kauman ler.
Terjemahan bebasnya: “Ketika melahirkan anak yang ke 14, yang meninggal dengan ibunya, di malam Jumat Kliwon, pukul 3 tanggal 27 bulan Sapar, th. Jimakir, 1778. Jenazah raden ayu disemayamkan di Ardi Mangadeg, putrinya di Masjid Kauman Ler.”
Penggal Info selanjutnya mengatakan bayi yang meninggal saat lahir tidak dimakamkan di kuburan umum, melainkan tak jauh dari daerah tinggal orang tuanya.
Dalam pandangan orang Jawa, bayi yang tutup usia ini diakui masih memerlukan “bimbingan” orang tua, supaya tidak mampu dijauhkan dari rumah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kiat supaya kuburan tidak hilang atau rata dengan tanah? Tempo dulu, grup bangsawan, priyayi, dan wong cilik belum mengenal nisan untuk menandai kuburan supaya tidak hilang, sekaligus membubuhkan nama jenazah bersangkutan. Agar kuburan tidak ditumpuk oleh orang lain maupun lenyap di sesudah itu hari, cukup diberi penanda batu hitam simpel atau kijing.
Perayaan ngijing dengan kata lain ritual pemasangan kijing makam marmer ditunaikan oleh keluarga dan kudu mengikuti aturan, yakni terhadap acara nyewu atau peringatan seribu hari meninggalnya orang yang dikubur tersebut. Jika prosesi ngijing nekat ditunaikan sekejap itu termasuk atau terhadap perayaan seratus hari, mereka cemas tanah kuburan dapat jeglong (mencekung) lantaran jasad orang yang meninggal belum hancur dan menyatu dengan tanah. Lambang Akulturasi Kuburan termasuk menjadi medan akulturasi yang ampuh didalam formalitas Nusantara.
Nisan sebagai pelengkap kuburan di Indonesia sebenarnya hasil efek dari kebudayaan orang Eropa yang berkunjung ke Nusantara. Dalam Kamus Umum Belanda-Indonesia (2001) anggitan Wojowasito, yang dimaksud batu nisan ialah kata grafzerk: “batu kubur/nisan yang dibaringkan (di atas makam). Menurut Lilie Suratminto didalam Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia (2008), batu nisan ditemukan sepanjang periode VOC berada di Nusantara (1616-1799).
Istilah nisan, menurut Dirk van Hinloopen Labberton (1934), seorang amtenar kolonial yang banyak meneliti formalitas Indonesia, berasal dari bahasa Arab “nisyan”, yang bermakna tonggak di atas makam Islam. Setelah diusut lebih jauh didalam beraneka kamus Arab, ternyata tak ada ditemukan lema nisyan. Memang tidak dikenal terminologi nisan didalam budaya Arab. Orang yang dikebumikan lazimnya tidak dikasih sinyal batu nisan laiknya di Indonesia.
Muncul dua penafsiran atas arti nisan. Pertama, “nisan” merupakan turunan kata nasiya “lupa” (kata kerja), saat kata bendanya nasyanaan atau nisyaanan. Ringkasnya, biar tidak lupa terhadap makam yang wafat, diletakkan sinyal nasyaanan (nisyaanan). Tafsir kedua, lema nisan bermuasal dari kata al insan ‘manusia’, gara-gara antara kata insan dan nisyaanan begitu dekat. Terdapat ungkapan didalam bahasa Arab: Summiyal insanu li nisyanihi. Artinya, Dia dikatakan manusia lantaran (bersifat) lupa.
Selarik ungkapan lainnya: Al insan mahallul khatta’ wa nisyan. Kalimat selanjutnya berisi arti bahwa manusia itu memiliki kecenderungan tidak benar dan lupa.
Bila kita cermati, tampaknya tafsir terakhir lebih mendekati kebenaran, yakni kata “nisan” bermula dari kata insan, sesudah itu berubah menjadi “nisan”. Perubahan itu dianggap kuat lantaran terdapatnya tanda-tanda bahasa metatesis, yakni perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata didalam kata. Semisal, riwa-riwi bersalin menjadi wira-wiri, dan rontal bersalin lontar.
Demikian pula sangat kemungkinan perubahan letak (i) dan (n) didalam insan dan nisan. Dari kilas balik ini, kita disadarkan bahwa kuburan komplit dengan nisan maupun kijing bukan sekadar penanda identitas dan standing sosial orang yang dikubur, tapi termasuk bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang sudah meninggal.
Sepanjang sejarah, kuburan nyaris tidak pernah dikorbankan didalam jagat politik dan dirusak. Banyak orang kuatir kualat kecuali bertindak demikian. Makam justru dirawat melalui formalitas budaya nyadran yang mewarisi sisa kepercayaan animisme-dinamisme.
Ringkasnya, ritual nyadran bukanlah ajang hura-hura atau berbau klenik, tapi mengingatkan dapat kematian dan memosisikan kuburan sebagai bukti sejarah. Di samping berpotensi untuk object wisata religi, kuburan dan batu nisan mampu meronce tali sejarah keluarga supaya tidak terhapus didalam ingatan generasi sesudahnya. Barangkali hanya di Indonesia, kuburan masih saja kena imbas perpecahan politik.