Menagapa Serba Salah Busana India di Bawah Kolonialisme Inggris?

Dalam Plain Tales from The Raj (1975), sejarawan Inggris Charles Allen bercerita soal Kenneth Warren, pegawai negeri sipil Inggris yang bertugas di Upper Assam, tempat terlalu terpencil di India pada masa penjajahan Inggris. Warren dikisahkan mengupayakan mati-matian untuk mempertahankan penampilan kelas sosialnya bahkan sementara tengah makan malam seorang diri di kediamannya.

“Aku Mengenakan setelan jas lengkap demi mempertahankan kehormatanku. Aku berkata kepada pelayanku–yang heran melihatku tampil begitu rapi padahal cuma makan malam sendiri–’Mulai sekarang setiap malam adalah pesta makan malam dan anda dapat melayani jamuan ini seolah ini adalah pesta jamuan yang dihadiri orang banyak,” catat Allen mengutip Warren.

Penggalan kisah berikut adalah cerminan bagaimana orang Inggris yang tinggal di India sepanjang zaman kolonial tetap mengupayakan membedakan diri bersama dengan penduduk asli. Prinsip utamanya: haram jikalau orang Inggris mengatur diri bersama dengan laku hidup orang-orang India.

Emma Tarlo, profesor antropologi dari Goldsmith University London, dalam belajar “British Attitudes to Indian plus European Dress” yang terbit dalam The Fashion History Reader (2010) menyebut pandangan sebelah mata pada orang-orang India setidaknya terjadi pada abad 19 sementara orang-orang Inggris sampai di pelabuhan di India. Mereka berpikiran pria-pria India yang di lebih kurang pelabuhan jorok dikarenakan cuma mengenakan kain untuk menutup tubuh dan tidak mengenakan alas kaki.

Orang-orang Inggris lantas berpikiran warga India terbelakang dan tidak beradab. Dari sanalah muncul anggapan bahwa meniru perilaku atau mengadopsi elemen budaya orang India serupa halnya bersama dengan mendegradasi ethical dan superioritas bangsa Barat.

Sebetulnya, orang-orang Inggris punya kekaguman pada baju tunik yang dikenakan pria elite di India dan baju sari yang dikenakan perempuan-perempuan di negara Asia Selatan itu. Namun, mereka pilih mengesampingkan kekaguman berikut dan terus menggaungkan anggapan bahwa segala sesuatu perihal India adalah lambang inferioritas.

Berdasar belajar Tarlo, stereotip pada baju India sepanjang abad ke-19 muncul mengetahui dalam karya sastra novel, koran, kartun-kartun bertema politik, dan juga catatan harian dari orang-orang yang hidup pada masa tersebut. Hal yang lantas mereka jalankan pada baju India adalah mengekspor lebih dari satu ‘sampel’ ke Inggris untuk ditiru desainnya, diproduksi di sana, dan dikirim ulang ke India untuk diperdagangkan bersama dengan label ‘katun Manchester’.

Kebetulan, pada periode itu, sejumlah penemu di Inggris merancang mesin jahit agar sangat mungkin memproduksi massal. Orang-orang Inggris mengklaim ‘Katun Manchester’ berkwalitas tinggi. Padahal, katun yang jadi material dasar pembuat kain pun berasal dari India. Bagi orang Barat, ‘katun Manchester’ mengakibatkan derajat orang India sedikit meningkat dan mengakibatkan mereka tampil sedikit lebih beradab. Ketika orang Inggris enggan mengadaptasi elemen baju orang India, orang-orang India lebih-lebih yang berasal dari kalangan elite jadi mengenakan setelan jas serupa bersama dengan yang dikenakan orang Eropa.

Dalam Cloth, Clothes, plus Colonialism: India in the Nineteenth Century (1998) disebutkan bahwa para elite pria dan kaum intelektual di India memadukan setelan jas bersama dengan turban yang khas dari negara mereka. Ada kalanya turban diganti bersama dengan model penutup kepala lain seperti topi kupluk atau topi yang biasa dikenakan tentara.

Orang-orang Eropa tidak memprotes hal ini dikarenakan mengetahui bahwa kaum elite dan terpelajar India sering kali menopang mereka dalam politik dan bisnis. Namun, di mata orang Eropa, meski orang India Mengenakan setelan jas, mereka tetap saja tidak dapat dapat menyamai orang Eropa akibat mutu baju dan kebiasaan yang tetap dianggap berbeda.

Sejak abad ke-18, kaum terpelajar India memegang posisi penting–pengelola keuangan atau guru bhs Persia dan Urdu–dalam perusahaan yang didirikan orang Inggris. Mereka tidak cuma mengenakan setelan jas dari Eropa tapi juga alas kaki berwujud selop. Namun barulah pada awal abad ke-19, kaum terpelajar dan elite India yang bekerja di kantor-kantor Inggris diperkenankan menggunakan sepatu sementara menghadiri acara semi-formal di luar urusan kantor. Namun, pada praktiknya pemanfaatan baju dan aksesoris yang terpengaruh dari negara Barat ini jadi lumayan rumit akibat tersedia benturan bersama dengan nilai-nilai setempat.

Oleh dikarenakan itu muncul bervariasi kritik lebih-lebih ditujukan kepada penganut Hindu. Ada yang menyebut bahwa tidak sewajarnya orang India masuk ke ruang kerja orang Inggris bersama dengan Mengenakan alas kaki dikarenakan itu serupa saja bersama dengan menghina budaya India.

Orang Inggris yang membebaskan orang India masuk ke dalam ruangan bersama dengan menggunakan sepatu dianggap tidak mengetahui dan tidak menghargai etika bangsa lain. Para tetua tradisi di India menginginkan orang Inggris dapat mengetahui bahwa setiap bangsa punya lambang kesopanan yang berbeda. Ada yang menyimbolkan kesopanan bersama dengan tindakan membebaskan tutup kepala atau membebaskan alas kaki.

Orang India yang diperkenankan secara leluasa mengadaptasi baju dan aksesoris orang barat adalah para penganut agama Kristen. Menurut dokumen-dokumen zaman itu, tidak tersedia kisah soal pemuka tradisi atau pejabat India yang memprotes kaum awam penganut Kristen yang mengenakan jas atau sepatu di manapun dan kapanpun. Di sisi lain, orang-orang Bengal yang pada sementara itu tetap hidup sesuai nilai-nilai kebiasaan Hindu harus mengupayakan keras agar dapat mengganti gaya penampilan mereka.

Yang diprotes tidak semata soal izin mengenakan baju barat tapi juga perihal aturan pemanfaatan pagri (penutup kepala). Mereka kelanjutannya mengajukan usul kepada pemerintah Bengal agar diperkenankan membebaskan pagri dalam pertemuan bersama dengan orang-orang Inggris.

Alasannya, pagri tidak ergonomis untuk digunakan dan tidak punya faedah mutlak untuk dipakai. Pandangan sebelah mata juga tertuju pada perempuan India. Para isteri misionaris jadi risih memandang mayoritas perempuan India yang mengenakan baju yang tidak cukup tertutup.

Oleh dikarenakan itu para isteri misionaris ini lantas mendoktrinasi mereka bersama dengan lebih dari satu model baju yang dianggap sopan di mata perempuan Barat. Mereka (terutama yang berasal dari kasta Nadar di kalangan orang Tamil) lantas mengadaptasi gaya baju para isteri misionaris. Di samping itu mereka juga jadi menggunakan syal sebagai pelengkap gaya.

Drajad