Kilang Darat Pilihan Tepat Pemerintah Manfaatkan Blok Masela

Industri di Indonesia bukan pembangunan industri sesaat yg bergantung pada ekspor berasal dari hasil satu industri dengan menggunakan Flow Meter Solar itu, terlebih-lebih berasal dari satu sumber kekuatan saja. Tetapi perlu melahirkan rangkaian aneka industri yang ke hilir (down stream) dan menyerap tenaga kerja, berwujud industri multi guna disetiap kabupaten untuk memanfaatan ekonomi yg dihasilkan berasal dari suatu sumber kekuatan (gas alam), dan termasuk menghidupi puluhan ribu orang di Indonesia anggota timur di dalam jangka panjang untuk capai kemandirian.

Indonesia bukanlah negara yang miliki Sumber Daya Alam (SDA) Migas yg sangat besar, lebih-lebih tergolong pas-pasan SDA di dalam tatanan negara-negara penghasil Migas anggota OPEC. Ambil misal Qatar mempunyai cadangan gas di North-South Pars sebesar 1300 tcf (banding Masela 10-20+ tcf untuk Probability 90 % dan 50 persen) bersama takaran kondensat sebanyak 55 miliar barel di lapangan kondensat North-Dome.

Dengan cadangan gas alam sebesar itu dan jumlah penduduk yang sangat kecil sebetulnya pantas jikalau Qatar menjadi eksportir gas alam, dikarenakan pemanfaatan berasal dari cadangan gas dapat jauh lebih efektif untuk ekspor daripada secara sejalan membangun kompleks petrokimia dan mengekspor hasil produknya ke LN.

Berbeda realitas antara Indonesia banding bersama Qatar, Indonesia perlu penghasilan devisa berasal dari ekpor gas alam cair dan termasuk sejalan perlu penyerapan lapangan pekerjaan di dalam hal ini spesifik untuk Indonesia anggota Timur (NTT-Maluku-Halmahera-Papua) sangat perlu lapangan pekerjaan yang sepanjang ini belum dapat terserap secara maksimal.

Maka di dalam konteks keberadaan gas alam di Blok Masela diperlukan industri multi petrokimia sebagai industri hilir “Down Stream” berasal dari keberadaan gas alam layaknya pusat aromatik yg berasal dan tumbuh berasal dari pemanfaatan gas alam.

Terlihat bersama paham sekali minimnya penyerapan tenaga kerja jikalau dipilih FLNG di dalam kapal bagas yang ukurannya terbatas untuk sistem di tengah laut (offshore). Jelas bersama minimnya sarana pemerosesan lebih lanjut maka gas yang dihasilkan sepenuhnya untuk ekspor dan praktis orang yang di pekerjakan di atas kapal bargas (Barge) sangat-sangat terbatas. Maka jangan berfikir dapat membuahkan industri multi petrokimia yang dapat menyerap tenaga kerja puluhan ribu orang berasal dari tempat sekitar lapangan gas Abadi.

Perdebatan tidak valid jikalau menyatakan sistem di laut cocok bersama industri kemaritiman tapi perlu fokus bukan kepada keberadaan lokasinya, tapi pada pemanfaatan berasal dari hasil yang menumbuhkan industri multiguna di samping devisa, tapi termasuk menyerap tenaga kerja di tempat dimana keberadaan berasal dari gas alam itu.

Kepentingan dan permintaan pihak asing adalah terbatas pada konteks investasi awal saja, yang dapat dibayar sepenuhnya (cost recovery) supaya keinginan dan pilihan mereka tidak dapat menjadi tolok ukur membuat pemerintah untuk menilai mahal-murah, dikarenakan pada selanjutnya sepenuhnya itu masuk kedalam “cost recovery” yang berarti dibebankan kepada negara pada akhirnya.

Jadi bukan kapal prodeo/hibah bersama teknologi FLNG atau murni sebagai investasi milik asing supaya menjadi pertimbangan investasi bahwa K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang berdaulat di dalam menentukan teknologi yg mau digunakan di dalam fokus pekerjaannya sebagai operator dan kontraktor Migas. Pola “Cost Recovery” tidak ubahnya bersama ubah rugi mahar yang umum di dalam sebuah pernikahan yg sepanjang ini telah menjadi type investasi gas di Indonesia.

Kita dapat bertanya-tanya dimana tersedia ruginya bagi K3S, dan dimana tersedia keberatan berasal dari pihak asing layaknya dikatakan jikalau tidak FLNG maka K3S dapat meninggalkan harta karunnya di Blok Masela, lebih-lebih bersama hadirnya bagi hasil setelah dikurangi “cost recovery” bersama perbandingan 60/40 atau 60 % untuk pemerintah dan 40 % untuk kontraktor.

Kalau tersedia ahli dadakan yang menyatakan bahwa OLNG dapat banyak perlu pipanisasi maka lebih panjang pipanisasi berasal dari lapangan Kakap atau Natuna ke Singapore yang sepanjang 500 Km daripada lapangan Abadi di blok Masel ke pulau Selaru.

Jalur pipa yang dapat dibangun berasal dari FPSO (Floating Processing, Storage plus Offloading) ke Kilang LNG Darat berasal dari Lapangan Abadi ke Pulau Selaru tempat pencairan gas alam hanya sepanjang 90 km, bukan terpanjang di dalam sejarah republik ini sebagaimana dikemukakan ahli dadakan yang menjagokan FLNG.

Kalau dikatakan bahwa kilang di darat untuk blok Masela lebih mahal berasal dari kilang di darat (OLNG) maka jikalau mengacu kepada biaya LNG Laut (FLNG) di Prelude-Australia, bersama kapasitas hanya setengah berasal dari kapasitas Blok Masela (7,5 juta ton pertahun) yaitu 3,6 juta ton pertahun maka perkiraan biaya pembangunan skenario Kilang LNG Laut di Australia sekitar 22-26 miliar dolar AS.

Jelas berasal dari perhitungan kilang LNG Darat (OLNG) pemanfaatan gas untuk industri hilir lebih untung Indonesia dikarenakan memproduksi gas yang dialirkan ke darat adalah gas alam yang telah bersih, setelah melalui sistem dilaut (FPSO) dan dapat diproses menjadi LNG dan sekaligus termasuk segera (tanpa sistem lanjutan) dapat dipakai sebagai bahan baku untuk industri pupuk (100 % bersama teknologi yang telah kita kuasai) di samping industri petrokimia yang membuahkan berbagai bahan bagu plastik kemasan.

Dan gas berasal dari laut dapat segera dipakai untuk bahan bakar bagi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan hasil listriknya dialirkan segera ke Maluku-NTT melalui kabel laut tegangan tinggi guna menumbuhkan industri-industri yang belum dapat terjangkau oleh aliran listrik sepanjang ini. Industri multi guna (down stream) ini mempunyai kapasitas sangat besar untuk menyerap lapangan pekerjaan yang sangat banyak di Indonesia anggota timur dan pasti tidak dapat dapat terjadi jikalau yang dipilih LNG Laut (FLNG).

Ada harga mahal yang tidak dulu dipertimbangkan para ahli dadakan yang berbicara di media yaitu bahwa bila dipilih kilang LNG Laut (FLNG), maka harga gas yang dihasilkan perlu dikirim bersama kapal secara CIF (cost insurance plus freight) di kapal-kapal transport LNG yg kecil ukurannya ke daerah-daerah terpencil dan menjadi tidak ekonomis lagi, itupun belum termasuk investasi untuk sistem pengegasan kembali (re-gassification) yang perlu dihitung sebagai biaya per MMbtu untuk industri petrokimia atau industri lain.

Karena harga gas alam adalah harga komoditi LNG di hitung per MMbtu di pasar yang perlu ditambahkan bersama biaya-biaya tersebut, supaya menjadi sangat mahal berasal dari harga gas pasar pada umumnya di dalam kisaran harga sebesar US$8-10/Mmbtu (akibat biaya CIF dan sistem regasifikasi).

Maka paham sekali bahwa pilihan OLNG di Blok Masela kita telah sangat berpengalaman di dalam mengestimasi biaya kilangnya daripada kilang di laut yang belum dulu tersedia di dunia manapun dan kalaupun menjadi adalah ditahun 2017 di Australia. Kepentingan perusahan K3S yang suka FLNG merupakan bentuk serupa bersama taruhan perjudian (gambling) supaya menjadi isu dan termasuk lobi-lobi pihak spesifik berharap K3S sediakan dana abadi untuk rencana pembangunan tempat spesifik dimana gas itu berada.

Apalagi belum paham kepada institusi mana (Kemenkeu, Bappenas atau BI) dana itu dapat di meletakkan lebih-lebih akuntabilitas berasal dari pemanfaatan dana abadi itu. Terlebih kembali dikaitkan terdapatnya usaha-usaha kala pihak yang menggiring opini, bahwa biaya kilang floating lebih berfungsi daripada kilang darat.